“... Manusia sudah berevolusi terlalu jauh meninggalkan
alam, membentengi dirinya sejak bayi dalam tembok- tembok semen dan lantai
buatan. Kulit manusia terbiasa dibungkus rapat hingga alergi debu atau rentan
pusing kalau kehujanan. Semua terlalu licin dan steril. Tidak heran kulit kami
lubang- lubang disini. Manusia telah ber- evolusi menjadi patung lilin...”
“... Problem terbesarku adalah mempercayai spesies Homo
sapiens. Termasuk diriku sendiri. Padahal, manusia terlahir ke dunia dibungkus
rasa percaya. Tak ada yang lebih tahu ketimbang plasenta. Tak ada rumah yang
lebih aman daripada rahim ibu. Namun, di detik pertama kita meluncur keluar,
perjudian hidup dimulai. Taruhanmu adalah rasa percaya yang kaulego satu per
satu demi sesuatu bernama cinta. Aku penjudi yang buruk. Aku tak tahu kapan
harus berhenti dan menahan diri ketika cinta bersinar gemilang menyilaukan
mata, kalang kabut aku serahkan semua yang kumiliki. Kepingan rasa percaya
bertaburan diatas meja taruhanku. Dan aku tak pernah membawa pulang apa- apa ...”
“... Ayah pernah bilang, manusia ibarat anak yang lupa
keluarga dan sanak/ saudara. Ia menyangka dirinya yatim piatu di Bumi ini. Ia
lupa telah bersepupu dengan orang utan, simpanse, gorila. Ia lupa bersaudara
jauh dengan pohon. Satu- satunya yang perlu disembuhkan dari manusia adalah
amnesianya. Manusia perlu kembali ingat Ia diciptakan dengan bahan baku dasar
yang sama dengan semua makhluk diatas Bumi ...”
“... Dalam hati, aku punya tebakan lain. Yang Paul nikmati
sesungguhnya adalah pengalaman menolong teman- temannya maju; posisinya sebagai
mentor. Menurutku, ada manusia- manusia yang memang tercipta untuk menjadi
seperti Paul. Ia terpanggil sebagai pemberi jalan. Sementara orang- orang yang
diberinya jalan lantas berlari, Ia hanya berdiri santai mengamati. Tugasnya hanya
menjaga gerbang yang ia bangun ...”
“... Di malam- malam berharga saat aku masih bisa tidur
dengannya, sarung bantalku tetap berjejak air mata. Kuelus- elus puncak
kepalanya yang jabrik sembari membatin, inikah perasaan orang tua yang harus
berpisah dengan anaknya? Beginikah dulu perasaan Ayah ketika Ia meninggalkan
rumah? Beginikah perasaan Ibu ketika Aku
keluar dari rumah? Saat kemudian, terngiang pesan Ibu Inga untuk tidak
membebani Sarah dengan sampah pribadiku. Akhirnya kumengerti betapa rumitnya
konstruksi batin manusia betapa sukarnya menanggalkan bias, menarik batas
antara masa lalu dan masa sekarang. Aku kini percaya, manusia dirancang untuk
terluka ...”
“... Menjadi kuat bukan berarti kamu tahu segalanya. Bukan
berarti kamu tidak bisa hancur. Kekuatanmu ada pada kemampuanmu bangkit lagi
setelah berkali- kali jatuh. Jangan pikirkan kamu akan sampai dimana dan kapan.
Tidak ada yang tahu. Your strength is simply your will to go on ...”
Partikel, by Dewi Lestari - dee -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar