Sabtu, 28 April 2012

Quote of The Book


“... Manusia sudah berevolusi terlalu jauh meninggalkan alam, membentengi dirinya sejak bayi dalam tembok- tembok semen dan lantai buatan. Kulit manusia terbiasa dibungkus rapat hingga alergi debu atau rentan pusing kalau kehujanan. Semua terlalu licin dan steril. Tidak heran kulit kami lubang- lubang disini. Manusia telah ber- evolusi menjadi patung lilin...”

“... Problem terbesarku adalah mempercayai spesies Homo sapiens. Termasuk diriku sendiri. Padahal, manusia terlahir ke dunia dibungkus rasa percaya. Tak ada yang lebih tahu ketimbang plasenta. Tak ada rumah yang lebih aman daripada rahim ibu. Namun, di detik pertama kita meluncur keluar, perjudian hidup dimulai. Taruhanmu adalah rasa percaya yang kaulego satu per satu demi sesuatu bernama cinta. Aku penjudi yang buruk. Aku tak tahu kapan harus berhenti dan menahan diri ketika cinta bersinar gemilang menyilaukan mata, kalang kabut aku serahkan semua yang kumiliki. Kepingan rasa percaya bertaburan diatas meja taruhanku. Dan aku tak pernah membawa pulang apa- apa ...”

“... Ayah pernah bilang, manusia ibarat anak yang lupa keluarga dan sanak/ saudara. Ia menyangka dirinya yatim piatu di Bumi ini. Ia lupa telah bersepupu dengan orang utan, simpanse, gorila. Ia lupa bersaudara jauh dengan pohon. Satu- satunya yang perlu disembuhkan dari manusia adalah amnesianya. Manusia perlu kembali ingat Ia diciptakan dengan bahan baku dasar yang sama dengan semua makhluk diatas Bumi ...”
 
“... Dalam hati, aku punya tebakan lain. Yang Paul nikmati sesungguhnya adalah pengalaman menolong teman- temannya maju; posisinya sebagai mentor. Menurutku, ada manusia- manusia yang memang tercipta untuk menjadi seperti Paul. Ia terpanggil sebagai pemberi jalan. Sementara orang- orang yang diberinya jalan lantas berlari, Ia hanya berdiri santai mengamati. Tugasnya hanya menjaga gerbang yang ia bangun ...”


“... Di malam- malam berharga saat aku masih bisa tidur dengannya, sarung bantalku tetap berjejak air mata. Kuelus- elus puncak kepalanya yang jabrik sembari membatin, inikah perasaan orang tua yang harus berpisah dengan anaknya? Beginikah dulu perasaan Ayah ketika Ia meninggalkan rumah?  Beginikah perasaan Ibu ketika Aku keluar dari rumah? Saat kemudian, terngiang pesan Ibu Inga untuk tidak membebani Sarah dengan sampah pribadiku. Akhirnya kumengerti betapa rumitnya konstruksi batin manusia betapa sukarnya menanggalkan bias, menarik batas antara masa lalu dan masa sekarang. Aku kini percaya, manusia dirancang untuk terluka ...”

“... Menjadi kuat bukan berarti kamu tahu segalanya. Bukan berarti kamu tidak bisa hancur. Kekuatanmu ada pada kemampuanmu bangkit lagi setelah berkali- kali jatuh. Jangan pikirkan kamu akan sampai dimana dan kapan. Tidak ada yang tahu. Your strength is simply your will to go on ...”

Partikel, by Dewi Lestari - dee -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar